Kumoring : Kunci
Sriwijaya, Melayu dan Islam Nusantara
(Perlunya Pesantren Melestarikan Aksara dan Bahasa Daerah)[1]
Dedy Mardiansyah[2]
"Adat
lembaga sai tipakai sa buasal jak Belasa Kapampang. Sajaman rik tanoh Pagaruyung,
pemerintah Bundo Kandung.
Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak. Sangon kok turun temurun jak
ninik puyang paija. Cambai urai tiusung dilom adat pusako".[3]
Ada beberapa alasan kenapa kutipan di atas menjadi pembuka tulisan
ini. Pertama, penulis ingin
menegaskan bahwa secara nyata, Komering sebagai subyek kajian masihlah miskin
sekali dalam publikasi mengenainya, seperti dalam mesin pencari internet.
Kemiskinan publikasi yang tentu menyisakan banyak misteri ini, setidaknya, disebabkan
dua hal; karena memang tidak ada data sama sekali yang dapat dituliskan, atau
karena memang dianggap tidak begitu penting untuk dituliskan, meski datanya
cukup tersedia atau justru sangat banyak datanya.
Jika memang karena alasan pertama, kemiskinan publikasi Komering
disebabkan oleh ketiadaan data sama sekali, tentu kita dapat memakluminya. Akan
tetapi, jika karena alasan yang kedua, kemiskinan publikasi tentang Komering
karena memang tidak begitu penting untuk dituliskan meski datanya cukup atau
bahkan amat tersedia, boleh jadi ini persoalan yang tidak sederhana. Sebab,
mungkin saja ada unsur kesengajaan yang, justru, di situlah letaknya keluhuran
bagi sebuah peradaban.
Kedua, dan inilah yang bagi penulis mulai menarik,
meski faktanya terjadi semacam kemiskinan publikasi tentang Komering, kalau
dilihat dari informasi atau data, seperti yang penulis kutip dari ensiklopedia
elektronik, hal yang berkaitan dengan Komering dibahas dengan menghubungkannya
kepada sesuatu yang lain, yang dianggap lebih besar (Lampung), namun datanya
tetap diambil dari Komering.
Suku
Komering adalah satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian
Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau Sungai di dataran Sumatera
Selatan yang menandai daerah kekuasaan Komering. Sebagaimana juga ditulis Zawawi
Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek
Komering/Minanga:
"Adat
lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung, Cakak di
Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang
paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako".
Terjemahannya berarti "Adat
Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang,
Sezaman dengan ranah Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung (abad 15) di Minangkabau, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang
sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat
pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".
Suku Komering mayoritas
terdapat sebagian besar berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (75 %), dan
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (55 %), sisanya berada di Kota Palembang
(10 %).
Ketiga, bahwa sesungguhnya jalan untuk memulai
pengkajian tentang Komering adalah cukup terbuka. Setidaknya, dengan
menggunakan data yang tersedia di media sosial elektronik meskipun terasa masih
begitu sederhana. Sebab, di samping dengan dasar keyakinan bahwa tidak ada yang
sia-sia di dunia ini, ilmu pengetahuan memanglah alat utama untuk memecahkan
persoalan yang ada. Apalagi, menurut hemat penulis, dalam sudut pandang ilmu
bahasa yang belakangan ini tampak nyata semakin menemukan polanya, seperti
dalam ilmu tentang wacana (diskursus), penemuan peradaban menjadi hal yang
niscaya. Atas izin dari Sang Pemilik Ilmu, tentunya.
Keempat, data yang menyatakan bahwa sebagai sebuah
entitas budaya atau sebagai sebuah peradaban, Komering yang terkait dengan
Lampung, Minangkabau dan Abad ke-7 hingga Abad ke-15 Masehi, memiliki kata
kunci yang bernama Minanga. Sementara, kata Minanga ini sesungguhnya tidaklah
asing dalam sejarah besar bangsa ini yang bernama Sriwijaya. Sedangkan
Sriwijaya itu sendiri, sama seperti Komering, meski beda secara kuantitasnya,
masih juga merupakan sebuah misteri. Misteri yang seandainya dapat tersingkap
tabirnya, boleh jadi akan semakin menguatkan integritas (keutuhan dan
ketahanan) nasional kita, bangsa Indonesia. Sebab, Sriwijaya, dipercaya sebagai
sebuah kemaharajaan maritim dunia.
Kelima, bahwa Sriwijaya sebagai sebuah peradaban
tentu memiliki kewilayahannya. Kawasan yang berlaku di dalamnya adat dan budaya
yang identik bagi masyarakat yang berada di dalamnya. Terkait kawasan ini, maka
yang juga menarik, terutama sesuai dengan tema besar pelestarian bahasa
nasional berbasis bahasa lokal yang diangkat dalam kegiatan ini, adalah bahwa
kawasan peradaban Sriwijaya sesungguhnya pula merupakan kawasan peradaban
Melayu. Bahkan, sebagaimana Sriwijaya, Melayu pun diidentikkan dengan
Palembang. Sementara di dalam prasasti tentang Sriwijaya yang dilaporkan
ditulis dengan menggunakan Bahasa Melayu, tidak ditemukan kata Palembang di
dalamnya. Justru yang ditemukan adalah kata Minanga. Sementara Minanga itu berada
di sini, di ulunya Palembang persisnya di Kabupaten Ogan dan Komering Ulu Timur
ini. Pertanda apakah ini?
Wajar jika kemudian, timbul pertanyaan bahwa bukankah karena ini
terkait dengan kata, dengan ilmu bahasa sebagai kuncinya, dapat ditelusuri
bagaimana prosesnya Sriwijaya sebagai aktor terpenting yang menjadikan Bahasa
Melayu sebagai lingua franca?
Bukankah Bahasa Melayu kemudian membentuk Bahasa Indonesia? Apakah tidak
mungkin penelitian terhadap tingkat keterampilan berbahasa Melayu atau
berbahasa Indonesia masyarakat Minanga dan sekitarnya (masyarakat Komering Ulu)
dapat membuka pemahaman ke arah itu? Penggunaan kata kiai, sebagai contoh,
boleh jadi penggunaannya bagi masyarakat Komering adalah lebih tua dan lebih
lama dari pada penggunaannya dalam Bahasa Indonesia.
Visi, Misi dan Gerak Penyebaran Islam
Islam adalah dien
paripurna sekaligus nikmat paling sempurna yang diamanahkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Akhir
Zaman dan Rasul Terbaik, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam SAW. Islam dimandatkan kepada rasul terbaik dan nabi
terakhir, sosok pembawa pesan ketuhanan (risalah
ilahiyah) ini lahir pada 571 M atau Abad ke-6 Masehi. Pemandatan Islam
kepada Baginda Muhammad ini terjadi di saat usianya 40 tahun. Persisnya tahun
611 Masehi atau masuk Abad ke-7 Masehi.
Sebagai dien yang
merevisi ajaran yang diturunkan kepada para nabi sebelumnya, Islam, lewat
pengutusan Muhammad sebagai pembawa pesan (rasul),
memiliki pandangan atau visi sebagai rahmat bagi alam semesta (universe). Karena pandangannya inilah,
Islam mampu mendasarkan dirinya sebagai gerak peradaban yang melampaui batas
nilai lokal dan teritorial. Karenanya, dalam konteks visinya ini, Islam menjadi
sebuah tata nilai yang universal.
Untuk sampai kepada pandangan atau tujuan yang dikenal dengan
istilah rahmatan lil ‘alamin itu,
Islam memiliki misi menyempurnakan keluhuran budi pekerti atau itmam makarimil akhlaq. Karenanya, dalam
konteks misinya ini, Islam menjadi perangkat operasional yang kontekstual. Tak
heran, jika kemudian, antara Islam sebagai agama dengan Islam sebagai budaya
lokal sebuah masyarakat tampak sulit untuk dibedakan.
Sebagai sistem nilai universal sekaligus perangkat operasional,
Islam dapat menjadi sesuatu yang melampaui (kosmopolitan) sekaligus membumi
(lokal) dengan 4 (empat) komponen utamanya berupa: syareat (syari’at), hakekat
(haqiqat), tarekat (thariqat) dan makrifat (ma’rifat).
Sementara untuk mengupayakan terciptanya harmoni dalam masyarakat
dan dinamisnya peradaban, Islam mengembangkan formula atau strategi kebudayaan
yang moderat dengan memelihara nilai lama yang masih selaras (baik) sembari
mengambil (adaptasi) nilai baru yang lebih selaras (baik). Strategi ini
berangkat dari salah satu kaidah Ilmu Ushul Fiqh yang berbunyi al muhafadzhatu alal qadiimish shalih wal
akhdzu bil jadiidil ashlah.
Kosmopolitanisme Islam dan lokalitasnya tersebut seakan menemukan buminya
yang tepat di wilayah geografis yang bernama Nusantara. Melalui pintu hubungan
perdagangan internasional, sebagai jaringan interaksi paling strategis. Islam
yang lahir di Mekkah masuk dalam wilayah geografis strategis Semenanjung Arabia
yang memiliki pintu akses ke Eropa sekaligus ke Asia. Pada Abad ke-7 Masehi
itu, kapur dari Barus (Sumatera Utara) telah dipakai di Yunani dan Romawi untuk
kosmetik dan perawatan jenazah. Dalam hal ini, Arab, boleh jadi telah memegang
kendali kepemimpinan dalam jaringan perdagangan (trading) ekspor dan impor antar benua Eropa dan Asia, termasuk
wilayah gugusan kepulauan yang bernama Nusantara.
Sebagaimana yang dikemukakan Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(HAMKA), dalam Ahmad Mansyur Suryanegara (Api
Sejarah : 2013), bahwa Abad ke-7 Masehi, dengan kata kunci perdagangan
global, kemaritiman dan penyebaran Islam, adalah kontak bagi masuknya Islam di
Nusantara. Merangkum kesimpulan mengenai cara masuknya Islam dengan mendasarkan
pada tiga kata kunci di atas dan melihat pada atlas atau peta dunia, maka pada
kesempatan ini perlu disampaikan pula, bahwa adalah lebih masuk akal jika
Islam, melewati rute Yaman (terus ke India dan Srilanka) masuk ke Nusantara. Kontak
ini, tentu tidak pula terlepas dari peta perdagangan Asia kala itu yang telah
dipimpin oleh China secara umum dan Sriwijaya secara khusus yang dengan
kedatuannya telah mengendalikan jalur transportasi maritim regional kala itu.
Sehingga, untuk memahami dengan jelas peta masuknya Islam ke
Nusantara, amat perlu bagi kita untuk melacak apa dan bagaimana yang
sesungguhnya terjadi pada Abad ke-7 Masehi itu antara Mekkah, Yaman, India,
Srilanka, China dan Sriwijaya dengan kerangka perdagangan dunia, teknologi
pelayaran dan kemaritiman dan misi penyebaran agama Islam. Sebab, apa yang kita
ketahui tentang peradaban masyarakat Islam di Nusantara, boleh jadi disebut
dengan Peradaban Islam Nusantara itu, adalah peradaban yang tak terlepas dari
Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya.
Islam Nusantara, Komering, Tradisi Ulu dan Ka
Ga Nga
Peradaban Islam Nusantara memang perlu kita lacak akarnya pada apa
dan bagaimana yang sesungguhnya terjadi di Abad ke-7 Masehi itu. Bahwa proses peradaban
yang mengaitkan Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya dengan
kerangka perdagangan dunia, teknologi pelayaran dan kemaritiman dan misi
penyebaran agama Islam, faktanya, telah membentuk, atau minimal mempengaruhi,
sebuah peradaban yang dipraktekkan oleh masyarakat Nusantara.
Sebab, apa yang kita ketahui tentang peradaban masyarakat Islam di
Nusantara, boleh jadi disebut dengan Peradaban Islam Nusantara itu, adalah
peradaban yang memang tak terlepas dari Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China
dan Sriwijaya. Sebab, apa yang terjadi pada Abad ke-13 Masehi, yang boleh kita
katakan sebagai titik awal Kebangkitan Islam Nusantara secara formal, dengan
berdirinya kesultanan dan hadirnya semacam lembaga pendidikan formal keislaman
yang kemudian lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren, tentulah terkait
erat dengan proses yang terjadi sebelumnya selama berabad-abad sejak Abad ke-7
Masehi itu.
Bahwa Islam dengan nilainya yang universal sekaligus dengan
kerangka operasionalnya yang kontekstual itu, melalui proses peradaban yang
mengaitkan Mekkah, Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya lewat kerangka
perdagangan dunia, teknologi pelayaran dan kemaritiman dan misi penyebaran
agama Islam, telah membentuk sebuah tatanan kehidupan masyarakat Nusantara.
Sehingga, sejak Abad ke-13 Masehi, peradaban Nusantara menjadi identik dengan
Islam yang berbasiskan peradaban kosmopolitan sekaligus bercorak sangat lokal.
Maka dengan dasar inilah, apa yang terjadi sejak Abad ke-13 Masehi
hingga di zaman kita ini, dapat terurai secara utuh (integral) dan menyeluruh
(komprehensif). Bahwa benar, Islam berasal dari Mekkah. Bahwa benar pembawa
Islam adalah mereka para keturunan Baginda Muhammad yang melewati pintu Yaman.
Bahwa benar mereka melalui India dan Srilanka. Sehingga kita dapat mafhum,
bahwa dengan kontak perdagangan yang dikuasai China dan Sriwijaya, pergaulan
menjadi lebih luas. Sehingga dapat pula dipahami jika terjadi persinggungan
atau interaksi yang lebih intim dan personal dalam bentuk hubungan kekerabatan
yang terjadi melalui pernikahan.
Sehingga, data yang seperti yang dapat kita temui di wilayah
Komering ini, yang yang merupakan Ulunya Palembang, yang terkait dengan Mekkah,
Yaman, India, Srilanka, China dan Sriwijaya, boleh pula kita rangkai dan urai.
Komering sendiri, menurut riwayat yang hidup di lokal, adalah berasal dari nama
seorang pedagang India, Komering Singh.
Sementara di Srilanka, sebagaimana terdapat dalam atlas dunia (seperti globe di
meja kerja penulis), terdapat pula daerah luar daratan (tanjung) yang bernama
Tanjung Komorin. Sementara Srilanka sendiri memang wilayah dekat dengan India.
Dan India, pada masa kejayaan Hindu/Budha, tepatnya di Universitas Nalanda,
pernah pula dibangun oleh Raja Sriwijaya, sebuah bangunan Ashrama, sebagai
bentuk kepedulian dan persahabatan.
Sementara Sriwijaya sendiri, berdasarkan naskah lokal, yang
diriwayatkan oleh H. Arlan Ismail, putera Kiai Haji Khatib Ismail Alhafidzh,
dalam bukunya Periodisasi Sejarah Sriwijaya (Universitas Tridinanti Press :
2003) pada awal mulanya, berpusat di Minanga, Komering Ulu, Sumatera Selatan,
daerah yang kini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU)
Timur. Hal yang menarik pula, pada wilayah Minanga dan sekitarnya itu kini, faktanya,
seperti pada gapura atau gerbang beberapa masjid desa, meski pemekaran
kabupaten sejak 2004, tulisan OKU tidak diganti dengan OKU Timur. Tampaknya,
ada kesan historis yang tak ingin dihilangkan.
Hal baru yang penulis temukan, bahwa di Komering Ulu ini, persinya
di daerah Betung, tak jauh dari Minanga, ternyata ada sosok luhur (keramat)
yang pada kisaran Abad 13 Masehi itu telah datang berkunjung. Sosok yang
sebagaimana riwayat lokal yang penulis dapatkan, disebut sebagai Junjungan
Sayyid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri Pasai.
Makam tokoh ini terletak di bagian depan komplek Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Negeri Desa Campang Tiga, Kecamatan Cempaka, Kabupaten OKU
Timur. Daerah makam itu disebut oleh masyarakat lokal dengan Pasai. Tak jauh
dari makam, terdapat Masjid Arrahman (yang di gapuranya hingga kini juga masih
tertulis OKU) milik Desa Gunung Jati. Sementara menyebrang Sungai Komering, di
wilayah Campang Tiga, juga terdapat makam bersejarah tokoh keramat yang bernama
Said Hamim gelar Tuan di Pulau.
Hal yang menarik juga dan menjadi perhatian kami, mengapa sosok
Junjungan Sayyid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri Pasai tidak lebih terkenal dari sosok
Said Hamim gelar Tuan di Pulau? Padahal, dari riwayat yang sama yaitu dari
bapak Khairul Ahmad, sosok Junjungan Sayyid Hamim disebut sebagai “Guru Wali”,
sementara sosok Said Hamim gelar Tuan di Pulau berdasarkan riwayatnya yang
ditulis Ahmad Azharie, adalah putera bungsu dari Sayyid Syarif Hidayatullah
gelar Sunan Gunung Jati. Dalam riwayat yang berbentuk silsilah itu, Tuan di
Pulau ini merupakan adik dari Puteri Kembang Dadar yang bermakam di Bukit
Siguntang, Palembang.
Selanjutnya, di samping kedua tokoh ini, di Komering Ulu, tepatnya
kawasan Minganga dan sekitarnya, dikenal juga dua orang tokoh lainnya. Yaitu Al
Habib Ahmad Alaydrusy Darussalam gelar Tanjung Idrussalam yang bermakam di Desa
Adu Manis dan Tuan Umar Baginda Shalih yang bermakam di Desa Rasuan. Kedua
tokoh ini, diriwayatkan sezaman dengan tokoh Tuan di Pulau.
Dengan mendasarkan diri pada proses terbentuknya Peradaban Islam
Nusantara sebagaimana yang diuraikan di atas, sengaja penulis mengungkapkan
keberadaan fakta yang terdapat di wilayah Komering. Dengan maksud, ingin
mengegaskan bahwa ada sesuatu hubungan yang serius atau penting yang masih
misteri, terkait Sriwijaya, pada awalnya, dan Peradaban Islam Nusantara, pada
akhirnya. Hal itu berkaitan dengan sub tema yang diserahkan kepada penulis
dalam kesempatan ini; Islam, Pesantren dan Pelestarian Kearifan Lokal Tradisional
Nusantara.
Sebab, penulis berkeyakinan, bahwa dengan menjadikan Komering
sebagai subyek kajian dan penelitian, maka kita dapat menghubungkan mata rantai
yang terputus terkait sejarah dan peradaban Islam Nusantara. Sebab, sebagaimana
yang penulis rasakan, kita seakan menemukan jalan buntu ketika menghubungkan
Sriwijaya, Melayu dan Islam yang kemudian menjadi peradaban Nusantara (yang
pada fase modernnya kita kenal dengan Indonesia) dengan Palembang Darussalam
tanpa melibatkan daerah ulunya yaitu Komering.
Termasuk dan terutama di sini, adalah hubungan Kesultanan Demak
Bintara, pendirian lembaga pendidikan formal nasional awal yang bernama
pesantren dan Palembang sebagai sentral bahasan Sriwijaya, Melayu dan Islam
Nusantara. Hal yang lebih menarik menurut penulis, berdasarkan kronologis
perkembangan Peradaban Islam Nusantara, yang melekat pada peradaban masyarakat
di wilayah Sumatera Bagian Selatan atau Belajasumba (Bengkulu, Lampung, Jambi,
Sumatera Selatan dan Bangka Belitung). Secara umum, berlakunya istilah atau
penamaan kata Ulu pada produk
peradaban yang berlaku seperti Cara Ulu,
Rumah Ulu, Surat Ulu dan Aksara Ulu.
Dimana, setiap yang memakai istilah atau peradaban itu identik dengan
Sriwijaya, Melayu dan Islam.
Sementara secara khusus, terkait dengan Cara Ulu atau Tradisi Ulu,
identik dengan Palembang (Ulu) yang berdasarkan riwayat lokal yang penulis
dapatkan, dan tentu masih amat perlu pendalaman dan pengembangan, merupakan
bagian awal dari fase Kebangkitan Peradaban Islam Nusantara di Abad 13 Masehi
yang disimbolkan dengan berdirinya kesultanan-kesultanan (seperti Kesultanan
Demak Bintara) dan pesantren-pesantren (seperti Pesantren Giri Amparan milik
Sunan Gunung Jati) yang kemudian secara signifikan membentuk peradaban
masyarakat Nusantara.
Padahal, diriwayatkan, Kesultanan Demak Bintara didirikan oleh Raden
Kasan (Hasan) gelar Raden Fatah yang merupakan putera Prabu Brawijaya V
(pemimpin terakhir Kerajaan Majapahit) dari selirnya yang merupakan anak dari
puteri Raja Tjeumpa (Cempa, Campa atau Cempaka) yang dinikahi oleh Sayyid
Syarif Hidayatullah gelar Sunan Gunung Jati. Jadi, puteri tersebut adalah selir
Raja terakhir Majapahit, cucu Raja Tjeumpa, puteri Sunan Gunung Jati dan
keturunan Rasulullah.
Boleh jadi, puteri inilah yang bergelar Ratu Sinuwun yang menyusun
Kitab Undang-undang Simbur Cahaya sebagai kompilasi hukum yang berlaku di
masyarakat Sumbagsel. Kitab hukum yang
dasarnya merupakan penyelarasan adat lokal (pribumi, tradisional dan lama) dengan
agama Islam (pendatang, modern dan baru). Fakta yang nyata, tentu masih amat
perlu perlu dipastikan lewat penelitian
hingga kemudian, dapat kita jadikan acuan. Bahwa selain ditulis dalam bahasa
Arab-Melayu yang dikenal juga dengan Aksara Jawi atau Pegon, faktanya juga,
kitab ini adalah simbolisasi peradaban yang kontekstual dengan masyarakat lokal
sekaligus kosmopolit. Kontekstual lokal sekaligus kosmopolitan peradaban itu
dapatlah pula kita lihat pada ornamen Masjid Agung Palembang Darussalam kini.
Hal yang menarik pula adalah bahwa Raden Fatah yang sebelum
mendirikan Kesultanan Demak Bintara, sebagaimana yang diceritakan Agus Sunyoto
(Suluk Abdul Jalil : 2001), belajar
pula terlebih dahulu di Pesantren Giri Amparan Jati, pesantren pertama yang
didirikan oleh kakeknya yaitu Sunan Gunung Jati. Raden Fatah belajar di sana
bersama dengan Raden Kusen (Husen) yang merupakan anak dari Ario Abdillah
(Riodillah) atau Arya Damar yang merupakan Adipati Palembang sekaligus Perintis
Kesultanan Palembang Darussalam.
Menarik pula, Ario Abdillah ini adalah putera dari Prabu Brawijaya
V dari istrinya yang berstatus Permaisuri Kerajaan Majapahit. Sebagaimana
permintaan sang ayah, Ario Abdillah kemudian menikahi syarifah yang yang tak
lain merupakan cucu dari Raja Tjeumpa dan puteri Sunan Gunung Jati itu di
Palembang setelah perempuan mulia itu melahirkan Raden Fatah, buah
pernikahannya dengan ayah Ario Abdillah. Setelah setahun dua menikah dengan
Ario Abdillah, lahir pula darinya, di Palembang, putera yang bernama Raden
Kusen.
Jadi, faktanya, Raden Fatah adalah putera Brawijaya V, cucu Sunan
Gunung Jati, cicit Raja Cempa, adik tiri Ario Abdillah (Adipati Palembang) dan
pendiri Kesultanan Demak Bintara. Sementara Raden Kusen adalah putera Ario
Abdillah, cucu Brawijaya V, cucu Sunan Gunung Jati dan cicit Raja Cempa. Raden
Fatah dan Raden Kusen keduanya lahir di Palembang, keturunan terakhir dinasti
Majapahit (Raja Brawijaya V), dibesarkan oleh Adipati Palembang, Ario Abdillah,
cucu dari Sunan Gunung Jati dan cicit dari Raja Cempa. Setelah masuk masa
kanak-kanak, keduanya dikirim ke Majapahit lalu kemudian ditugaskan untuk
belajar di Pesantren Giri Amparan Jati di bawah asuhan sang kakek, Sunan Gunung
Jati.
Tampaknya, inilah yang menjadi titik temu utama dalam bahasan kita
pada seminar ini. Bahwa, besar kemungkinan, di Pesantren Giri Amparan Jati,
diberlakukan pembelajaran Aksara Ulu yang kemudian dikenal dengan istilah
Aksara Ka Ga Nga. Sebab, di Jawa
Barat, aksara ini diakui pula sebagai Aksara Tradisional Jawa Barat. Dan,
tampak nyata, bahwa ini, tentu amat berkaitan dengan keberadaan Sunan Gunung
Jati di daerah Sumatera Bagian Selatan terutama dengan wilayah Palembang Ulu
(Komering Ulu). Ini pula yang kiranya dapat menjadi penyemangat bagi kita untuk
lebih intensif menjadikan Komering, dengan aksara dan bahasanya sebagai subjek
kajian. Pertanyaan kuncinya, kenapa Aksara Ka Ga Nga yang justru menjadi aksara
Jawa Barat, sama dengan Sumatera? Kenapa tidak aksara khas yang ada di Pulau
Jawa?
Pesantren, Nurul
Huda, Desa Tanjung Kukuh dan Kebangkitan Islam Indonesia
Pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang asli (indigeneous) Indonesia. Pesantren
merupakan pranata sosial sekaligus lembaga pendidikan nasional yang teruji
paling bertahan. Pesantren, akarnya adalah nilai-nilai tradisional warisan
peradaban nasional Indonesia yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat
Nusantara. Pesantren merupakan pelopor sistem pendidikan agama Islam sekaligus
sistem pendidikan nasional di Indonesia. Sebagai sebuah bagian budaya
(subkultur) bangsa Indonesia, pesantren didirikan untuk memenuhi tuntutan dan
kebutuhan zaman sekaligus dengan tetap melestarikan kebaikan nilai-nilai yang
menjadi warisan nasional dari masa ke masa.
Dari perjalanan sejarah, dapat dilihat
bahwa kekenyalan
budaya (tarekat) pondok pesantren menjadi pilar ketahanan nasional paling
strategis sesungguhnya. Pesantren dilahirkan atas kesadaran akan kewajiban dakwah
islamiyah yang dapat diterima oleh mayoritas pribumi Nusantara ini. Pesantren
telah bertugas menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam dengan mencetak
kader-kader ulama yang mampu menjadi pendidik dan penyuluh dari dan untuk
masyarakat pribumi sekaligus menjadikan kearifan lokal masyarakat Nusantara
sebagai pintu masuk dakwah islamiyah. Secara tidak langsung, pesantren justru
telah menjadi pelestari kearifan lokal tradisional Nusantara.
Dengan stratgei jitunya, pesantren berhasil melakukan pembaharuan
(modernisasi) dengan menjadikan tradisi sebagai subyeknya. Kesadaran dimana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung secara insyaf dan sadar menjadi strategi kultural yang konsisten
dikembangkan pesantren sebagai nilai warisan leluhur. Adagium adat bersendikan syarak, syarak bersendikan
Kitabullah dimana syarak menjadi teorinya dan adat sebagai prakteknya
menjadikan Nusantara potensial sebagai teladan kebaikan dan perdamaian dunia.
Dari sudut pandang yang seperti Islam yang lalu dikembangkan lewat
pesantren-pesantren di bumi Nusantara inilah falsafah negara Pancasila dapat
hadir. Sebuah pandangan kenegaraan yang dapat menginspirasi dunia.
Pesantren, menurut Presiden Republik
Indonesia IV, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari
gambaran lahiriahnya (Wahid, 2010 : 3). Lebih lanjut, cucu pendiri pesantren di Jombang
(sebuah pesantren yang paling tersohor di nusantara) yang sekaligus juga
pendiri organisasi massa Islam terbesar di dunia (Nahdlatul Ulama) ini
menjelaskan bahwa pesantren adalah sebuah
kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya.
Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah
bangunan: rumah kediaman pengasuh (di daerah berbahasa Jawa disebut kiai,
di daerah berbahasa Sunda ajengan, dan di daerah berbahasa Madura
nun atau bendara, disingkat ra); sebuah surau atau masjid,
tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga lebih sering
mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri,
pengambilalihan dari bahasa Sanskerta dengan perubahan pengertian). Keunikan
pesantren inilah, dengan segala pranata sosialnya yang dimiliki memungkinkannya
untuk tampil mengusung nilai-nilai peradaban yang universal dan global.
Pesantren Nurul Huda Sukaraja,
contohnya. Sebagai sebuah lembaga pendidikan agama Islam yang berada di Desa
Sukaraja, Kecamatan Buay Madang, Kabupaten OKU Timur, merupakan sebuah
pesantren besar di Sumatera Bagian Selatan. Dengan jumlah peserta yang
mengakses pendidikannya (santri) sebanyak 2013 sebagaimana data penelitian
Kementerian Agama RI Tahun 2007-2008 yang dirilis dalam situs resminya.
Pesantren ini adalah satu-satunya
pesantren di Sumatera Bagian Selatan yang konsisten mengelola pendidikan
diniyah salafiyah khas pesantren (kitab kuning) dengan lulusan yang mampu
diterima di kelas tinggi di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur (Pesantren yang
kini diakui otoritatif di Nusantara terkait kegiatan tafaqquh fiddiin), sekaligus juga mempunyai unit pendidikan tinggi
yang umum sifatnya yaitu Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP)
yang salah satu Program Studinya adalah Pendidikan Bahasa Indonesia. Padahal,
pesantren ini berada di tengah desa. 5 jam dari Palembang dan 5 jam pula dari
Bandar Lampung.
Sebagai pesantren besar di Sumbagsel,
dengan sumberdaya yang dimilikinya, pesantren ini berada di Kawasan Pesisir
Sungai Komering. Selain bertanggung jawab terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat pribumi, pada pundak pesanren ini sesungguhnya terdapat tanggung
jawab untuk melestarikan sekaligus mengembangkan warisan keluhuran peradaban
Sriwijaya.
Minimal dengan keterlibatannya dalam
aktivitas langsung pelestarian bahasa, sastra dan adat budaya Komering. Seperti
halnya Aksara Kaganga atau Aksara Ulu yang sejatinya juga merupakan aksara yang
dipakai oleh masyarakat di daerah-daerah dalam kawasan Sumatera Bagian Selatan.
Karena masih terlalu banyak data dan fakta sejarah yang belum terungkap yang
menurut penulis jika dapat digali dan disusun akan sangat berpengaruh bagi
terjadinya era Kebangkitan Islam Indonesia (Nahdlatul Islam Indonesia) nanti.
Dimana Indonesia lewat peradaban umat Islamnya yang berbudaya universal dan
kosmopolitan sebagai warisan keluhuran peradaban masa lalunya akan menjadi
sosok bangsa teladan dunia.
Kehadiran pesantren, seperti Pesantren
Nurul Huda Sukaraja ini, dalam aktivitas penggalian sejarah di lokalnya,
sesungguhnya tidak hanya akan berbicara tentang Islam Nusantara atau Nusantara
Sriwijaya semata. Tetapi lebih dari itu, sejatinya upaya seperti ini adalah
upaya untuk bagaimana bangsa kita tercinta ini, Indonesia, semakin memiliki
daya tahan (integritas) sebagai bangsa yang besar. Ketahan nasional yang lebih
dari sekedar proyek menangkal ideologi luar dan terorisme, tetapi justru upaya
sederhana melestarikan kearifan lokal yang justru dapat secara amat signifikan
membangun peradaban global.
Dalam konteks itulah kiranya Pesantren Nurul Huda Sukaraja,
melalui Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia lewat Pusat Kajian
Komeringnya dapat melihat dan bekerjasama dengan Desa Tanjung Kukuh. Dimana pola
integrasi adat Komering dan agama Islamnya dapat menjadi subyek kajian dan
penelitian terutama tentang Komering Ulu sebagai salah satu situs yang terkait
dengan Islam, Nusantara, Melayu dan Sriwijaya. Pertama, secara lebih jauh untuk melacak kata kunci apa yang sebenarnya
terjadi di Abad ke-7 Masehi dalam menyingkap relasi Komering Ulu dengan Islam,
Melayu dan Sriwijaya. Kedua, Abad
ke-13 dapat menjadi pembuka untuk kajian relasi luhur itu dengan memakai subyek
seperti istilah “Kiai”, identitas Melayu di Sumatera Bagian Selatan
(Sriwijaya), Kesulatanan Demak Bintara, Palembang Darussalam, Kitab Simbur
Cahaya dan keberadaan tokoh sentral Junjungan Sayyid Hamim Ukasyah Sulthan
Negeri Pasai di “Palembang Ulu”.
Selanjutnya, bahwa Desa Tanjung Kukuh, Kecamatan Semendawai Barat,
Kabupaten Ogan dan Komering Ulu (OKU) Timur adalah kawasan wilayah yang cukup
memadai untuk keperluan kajian di atas. Tanjung Kukuh adalah kawasan ulayat
yang hingga kini lestari kehidupan sosial masyarakatnya dengan pola integral
antara Komering dan Islam. Teluk Belango (pakai sarung dengan tetap memakai
celana panjang) dalam kegiatan ritual menjadi simbol kulturalnya. Kini telah
pula berdiri Pondok Pesantren Junjungan Sayid Hamim Ukasyah Sulthan Negeri
Pasai dengan penerapan pembelajaran aksara Komering (Ka Ga Nga) dan aksara Arab
Melayu sebagai warisan leluhurnya.
Kemudian pula bahwa secara bahasa, istilah atau kata kiai secara adat (kearifan lokal
tradisional Komering seperti di Tanjung Kukuh) berarti kakak laki-laki atau yang
tua usianya. Sementara kiai secara agama (sesuai pengertian Bahasa Indonesia
modern) berarti yang tahu ilmu agama. Antara kedua hal ini, mana yang lebih
lama dipakai? Hal ini, tentulah amat berkaitan sekali dengan pokok bahasan ilmu
bahasa dan bisa menjadi kunci utama bagi Pusat Kajian Komering Prodi Pendidikan
Bahasa STKIP PPNH Sukaraja untuk memulainya. Bismillaah, wallaahu a’lam bish showab. (dms.harby)
"Aksara,
Bahasa dan Budaya Komering Sebagai Salah Satu Kekayaan Peradaban Luhur Warisan
Sriwijaya“
di Aula
Kampus B STKIP PPNH Sukaraja, Sukaraja, 23 November 2015.
[2] Penulis
adalah Ketua Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Nurul Huda
Sukaraja
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Komering